Ketahanan pangan menjadi salah satu prioritas dalam pembangunan nasional. Ada tiga alasan utama yang melandasi adanya kesadaran dari semua komponen bangsa atas pentingnya ketahanan pangan yaitu: (i) akses atas pangan yang cukup dan bergizi bagi setiap penduduk merupakan salah satu pemenuhan hak azasi manusia; (ii) konsumsi pangan dan gizi yang cukup merupakan basis bagi pembentukan sumber daya manusia yang berkualitas; (iii) ketahanan pangan merupakan basis bagi ketahanan ekonomi, bahkan bagi ketahanan nasional suatu negara berdaulat.
Ketahanan pangan nasional salah satunya
dicirikan dengan adanya ketersediaan pangan yang cukup secara makro namun
demikian masih ada beberapa daerah dimana masyarakatnya tidak mampu mengakses
pangan yang cukup. Hal ini disebabkan karena kondisi wilayahnya miskin ataupun
pendapatan mereka yang tidak mencukupi untuk memperoleh akses terhadap pangan.
Berdasarkan data BPS, program yang
dilaksanakan oleh pemerintah selama ini telah mampu menurunkan jumlah
kemiskinan di Indonesia dimana secara absolut pada tahun 2011 menjadi sekitar
30 juta jiwa, lebih rendah jika dibandingkan tahun 2010 sebesar 31,02 juta
jiwa. Pada umumnya sebagian besar dari penduduk miskin tersebut tinggal di
wilayah pedesaan dengan mata pencaharian dari sektor pertanian yang memiliki
skala usaha kecil yaitu kurang dari 0,5 hektar atau bahkan sebagai buruh tani.
Disisi lain melihat luasnya wilayah
Indonesia dimana wilayah sentra produksi pertanian khususnya padi dan jagung
berada pada topografi yang beragam, memiliki ketersediaan sarana prasarana
untuk mendukung sektor tersebut (produksi, pengolahan, penyimpanan) sangat
bervariasi, waktu panen yang tidak bersamaan pada beberapa wilayah, dan iklim
yang kurang mendukung pada saat tanam maupun panen raya, sehingga petani,
kelompoktani (Poktan) maupun Gabungan Kelompoktani (Gapoktan) selalu dihadapkan
pada berbagai masalah antara lain: (i) keterbatasan modal usaha untuk melakukan
kegiatan pengolahan, penyimpanan, pendistribusian/pemasaran setelah panen; (ii)
memiliki posisi tawar petani yang rendah pada saat panen raya yang bersamaan
dengan datangnya hujan, sehingga petani terpaksa menjual produknya dengan harga
rendah kepada para pelepas uang (pedagang perantara); (iii) keterbatasan akses
pangan (beras) untuk dikonsumsi saat mereka menghadapi paceklik yang disebabkan
karena tidak memiliki cadangan pangan yang cukup.
Dampak dari ketidakberdayaan petani,
Poktan dan Gapoktan tersebut dalam mengolah, menyimpan dan mendistribusikan/memasarkan
hasil produksinya dapat menyebabkan: (i) ketidakstabilan harga untuk komoditas
gabah/beras dan jagung di wilayah sentra produksi pertanian pada saat terjadi panen
raya, dan (ii) kekurangan pangan (beras) yang dapat dikonsumsi pada saat mereka
menghadapi musim paceklik.
Guna mengatasi permasalahan tersebut,
khususnya di daerah sentra produksi padi dan jagung, pemerintah melalui
Kementerian Pertanian cq Badan Ketahanan Pangan, sejak tahun 2009 telah
melaksanakan kegiatan Penguatan Lembaga Distribusi Pangan Masyarakat
(Penguatan-LDPM). Melalui kegiatan Penguatan-LDPM pemerintah menyalurkan dana
Bansos dari APBN kepada Gapoktan untuk memperkuat kelembagaan Gapoktan agar
mampu mendistribusikan hasil produksi pangan anggotanya dan menyediakan
cadangan pangan bagi anggotanya. Dengan memperkuat permodalan dari dana Bansos
Penguatan-LDPM, diharapkan Gapoktan bersama-sama dengan anggotanya mampu
membangun sarana untuk penyimpanan, mampu mengembangkan usaha di bidang
pemasaran pangan, dan mampu menyediakan pangan minimal bagi anggotanya yang
kurang memiliki akses terhadap pangan pokok.
Baca selengkapnya Pedum LDPM BKP, Kementan 2012 bisa didownload di sini.
Sumber : Badan Ketahanan Pangan, Kementan RI 2012.
0 komentar:
Posting Komentar