thl-tbpp kabupaten sumedang

pageuh, keukeuh jeung ngeureuyeuh.

thl-tbpp kabupaten sumedang

sabisa-bisa, kudu bisa, pasti bisa.

thl-tbpp kabupaten sumedang

tandang, nyandang kahayang.

thl-tbpp kabupaten sumedang

ngahiji ngabakti ka para patani.

thl-tbpp kabupaten sumedang

mitra patani nu sajati.

Selasa, 01 Mei 2012

GERAKAN PERCEPATAN PENGANEKARAGAMAN KOMSUMSI PANGAN (P2KP)

Ketahanan pangan merupakan hal yang sangat penting dan strategis, mengingat pangan merupakan kebutuhan dasar manusia. Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang paling utama, karena itu pemenuhannya menjadi hak asasi setiap individu. Pada KTT Pangan Sedunia Tahun 1996 di Roma para pemimpin Negara dan pemerintah telah mengikrarkan kemauan politik dan komitmennya untuk mencapai ketahanan pangan dan melanjutkan upaya penghapusan kelaparan.
Pembangunan ketahanan pangan di Indonesia ditegaskan dalam Undang Undang Pangan Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 68 Tahun 2002 tentang Ketahanan Pangan, yang secara spesifik mengatur bahwa pemerintah menyelenggarakan pengaturan, pembinaan, pengendalian dan pengawasan terhadap ketersediaan pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, beragam, bergizi, berimbang, aman, merata dan terjangkau oleh daya beli masyarakat.
Beberapa hasil kajian menunjukan persediaan pangan yang cukup secara nasional terbukti tidak menjamin perwujudan ketahanan pangan pada tingkat wilayah (regional), rumah tangga atau individu. Data menunjukan bahwa jumlah proporsi rumah tangga yang deficit energy di setiap provinsi masih tinggi. Berkaitan dengan hal ini, penganekaragaman pangan menjadi salah satu pilar utama dalam mewujudkan ketahanan pangan. Dari segi fisiologis, manusia untuk dapat hidup aktif, sehat dan produktif memerlukan lebih dari 40 jenis zat gizi yang terdapat pada berbagai jenis
makanan. Berbagai penelitian sudah membuktikan bahwa tidak ada satupun jenis pangan yang lengkap gizinya kecuali ASI.
Keragaman konsumsi pangan masyarakat Indonesia dengan indikator skor Pola Pangan Harapan (PPH), menunjukkan bahwa skor mutu konsumsi pangan penduduk Indonesia periode 2006–2010 terjadi fluktuasi. Hal ini diindikasikan terjadinya penurunan Skor PPH dari 81,9 pada tahun 2008 menjadi 78,8 pada tahun 2009. Pada tahun 2010 skor PPH kembali meningkat yaitu 80,6, tetapi masih didominasi konsumsi energi kelompok padi-padian dari proporsi sebesar 50 persen, hal ini terjadi karena kurangnya kesadaran masyarakat akan pangan yang beragam, bergizi, berimbang, dan aman, dan diikuti juga dengan semakin meningkatnya konsumsi terigu yang merupakan bahan pangan impor. Sementara itu, konsumsi pangan yang lainnya masih belum memenuhi komposisi ideal yang dianjurkan, seperti pada kelompok umbi – umbian, pangan hewani, sayur dan buah.
Secara umum, implementasi Gerakan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi
Pangan (P2KP) sangat penting untuk dilaksanakan secara massal mengingat permintaan beras terus meningkat sejalan dengan pertumbuhan penduduk, semakin terasanya dampak perubahan iklim global, dampak pemberian Raskin semakin mendorong masyarakat yang makanan pokoknya non beras menjadi beras (nasi), serta belum optimalnya pemanfaatan pangan lokal.
Merujuk pada situasi tersebut, maka Empat Sukses Pertanian, yang salah satunya adalah Peningkatan Diversifikasi Pangan (Penganekaragaman Pangan) menjadi salah satu kontrak kerja antara Menteri Pertanian dengan Presiden selama tahun 2009 – 2014, dengan tujuan untuk meningkatkan keanekaragaman pangan sesuai dengan karakteristik daerah. Kontrak kerja ini merupakan tindak lanjut dari Peraturan Presiden (Perpres) No. 22 Tahun 2009 tentang Kebijakan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan Berbasis Sumber Daya Lokal, yang ditindaklanjuti oleh Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) No. 43 Tahun 2009 tentang Gerakan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan (P2KP) Berbasis Sumber Daya Lokal. Peraturan tersebut menjadi acuan yang dapat mendorong percepatan penganekaragaman konsumsi pangan berbasis sumber daya lokal melalui kerja sama sinergis antara pemerintah dan pemerintah daerah. Di Provinsi, kebijakan tersebut ditindaklanjuti dengan Peraturan Gubernur (Pergub) dan di kabupaten/kota ditindaklanjuti dengan Peraturan Bupati/Walikota (Perbup/Perwalikota).
Implementasi kebijakan P2KP pada tahun 2012 sebagai bentuk keberlanjutan dari kegiatan P2KP tahun 2010 diwujudkan melalui kegiatan : (1) Pemberdayaan kelompok wanita melalui optimalisasi pemanfaatan pekarangan dan bantuan alat penepung, (2) Pengembangan pangan lokal melalui kegiatan pra-pangkin dan kerja sama dengan Perguruan Tinggi dalam pengembangan teknologi pangan lokal, (3) Sosialisasi dan promosi penganekaragaman konsumsi pangan, serta (4) Pengembangan Kawasan Diversifikasi Pangan (PKDP) yang merupakan pengembangan dari kegiatan P2KP pada tingkat kawasan. Kegiatan P2KP juga diharapkan dapat mendorong peran serta dunia usaha melalui Corporate Social Responsibility (CSR)/ Program Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL).
Dimensi lintas sektor Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan (P2KP) terlihat jelas pada implementasi di lapangan terutama di tingkat provinsi dan kabupaten/kota melalui integrasi berbagai kegiatan dalam mewujudkan pengembangan ekonomi lokal, baik dari segi pelaksanaan maupun pembiayaan. Gubernur/Bupati sebagai integrator memiliki peranan penting, terutama dalam mengkoordinasikan semua Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD).
Kegiatan penganekaragaman konsumsi pangan, selain ditujukan untuk meningkatkan skor PPH, juga berperan positif dalam upaya meningkatkan gizi keluarga, menurunkan konsumsi beras, menurunkan angka kemiskinan dan menciptakan lapangan kerja sesuai potensi daerah.
Baca selengkapnya Pedum P2KP BKP, Kementan 2012 downloaddisini

Sumber : Badan Ketahanan Pangan, Kementan RI 2012.

PENGUATAN LEMBAGA DISTRIBUSI PANGAN MASYARAKAT (LDPM)

          Ketahanan pangan menjadi salah satu prioritas dalam pembangunan nasional. Ada tiga alasan utama yang melandasi adanya kesadaran dari semua komponen bangsa atas pentingnya ketahanan pangan yaitu: (i) akses atas pangan yang cukup dan bergizi bagi setiap penduduk merupakan salah satu pemenuhan hak azasi manusia; (ii) konsumsi pangan dan gizi yang cukup merupakan basis bagi pembentukan sumber daya manusia yang berkualitas; (iii) ketahanan pangan merupakan basis bagi ketahanan ekonomi, bahkan bagi ketahanan nasional suatu negara berdaulat.
Ketahanan pangan nasional salah satunya dicirikan dengan adanya ketersediaan pangan yang cukup secara makro namun demikian masih ada beberapa daerah dimana masyarakatnya tidak mampu mengakses pangan yang cukup. Hal ini disebabkan karena kondisi wilayahnya miskin ataupun pendapatan mereka yang tidak mencukupi untuk memperoleh akses terhadap pangan.
Berdasarkan data BPS, program yang dilaksanakan oleh pemerintah selama ini telah mampu menurunkan jumlah kemiskinan di Indonesia dimana secara absolut pada tahun 2011 menjadi sekitar 30 juta jiwa, lebih rendah jika dibandingkan tahun 2010 sebesar 31,02 juta jiwa. Pada umumnya sebagian besar dari penduduk miskin tersebut tinggal di wilayah pedesaan dengan mata pencaharian dari sektor pertanian yang memiliki skala usaha kecil yaitu kurang dari 0,5 hektar atau bahkan sebagai buruh tani.
Disisi lain melihat luasnya wilayah Indonesia dimana wilayah sentra produksi pertanian khususnya padi dan jagung berada pada topografi yang beragam, memiliki ketersediaan sarana prasarana untuk mendukung sektor tersebut (produksi, pengolahan, penyimpanan) sangat bervariasi, waktu panen yang tidak bersamaan pada beberapa wilayah, dan iklim yang kurang mendukung pada saat tanam maupun panen raya, sehingga petani, kelompoktani (Poktan) maupun Gabungan Kelompoktani (Gapoktan) selalu dihadapkan pada berbagai masalah antara lain: (i) keterbatasan modal usaha untuk melakukan kegiatan pengolahan, penyimpanan, pendistribusian/pemasaran setelah panen; (ii) memiliki posisi tawar petani yang rendah pada saat panen raya yang bersamaan dengan datangnya hujan, sehingga petani terpaksa menjual produknya dengan harga rendah kepada para pelepas uang (pedagang perantara); (iii) keterbatasan akses pangan (beras) untuk dikonsumsi saat mereka menghadapi paceklik yang disebabkan karena tidak memiliki cadangan pangan yang cukup.
Dampak dari ketidakberdayaan petani, Poktan dan Gapoktan tersebut dalam mengolah, menyimpan dan mendistribusikan/memasarkan hasil produksinya dapat menyebabkan: (i) ketidakstabilan harga untuk komoditas gabah/beras dan jagung di wilayah sentra produksi pertanian pada saat terjadi panen raya, dan (ii) kekurangan pangan (beras) yang dapat dikonsumsi pada saat mereka menghadapi musim paceklik.
Guna mengatasi permasalahan tersebut, khususnya di daerah sentra produksi padi dan jagung, pemerintah melalui Kementerian Pertanian cq Badan Ketahanan Pangan, sejak tahun 2009 telah melaksanakan kegiatan Penguatan Lembaga Distribusi Pangan Masyarakat (Penguatan-LDPM). Melalui kegiatan Penguatan-LDPM pemerintah menyalurkan dana Bansos dari APBN kepada Gapoktan untuk memperkuat kelembagaan Gapoktan agar mampu mendistribusikan hasil produksi pangan anggotanya dan menyediakan cadangan pangan bagi anggotanya. Dengan memperkuat permodalan dari dana Bansos Penguatan-LDPM, diharapkan Gapoktan bersama-sama dengan anggotanya mampu membangun sarana untuk penyimpanan, mampu mengembangkan usaha di bidang pemasaran pangan, dan mampu menyediakan pangan minimal bagi anggotanya yang kurang memiliki akses terhadap pangan pokok.
Baca selengkapnya Pedum LDPM BKP, Kementan 2012 bisa didownload di sini.

Sumber : Badan Ketahanan Pangan, Kementan RI 2012.

DESA MANDIRI PANGAN

Pembangunan ketahanan pangan diselenggarakan untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia yang memberikan manfaat secara adil dan merata berdasarkan kemandirian, dan tidak bertentangan dengan keyakinan masyarakat. Upaya Pembangunan ketahanan pangan dilakukan secara bertahap melalui proses pemberdayaan masyarakat untuk mengenali potensi dan kemampuannya, mencari alternatif peluang dan pemecahan masalah, serta mampu untuk mengelola dan memanfaatkan sumberdaya alam secara efektif, efisien, dan berkelanjutan. Perwujudan pemberdayaan masyarakat dalam rangka kemandirian pangan, dilakukan melalui pemberdayaan masyarakat miskin dan rawan pangan di perdesaan. Strategi yang digunakan untuk pemberdayaan masyarakat miskin dilakukan melalui jalur ganda/twin track strategy, yaitu: (1) membangun ekonomi berbasis pertanian dan perdesaan untuk menyediakan lapangan kerja dan pendapatan; dan (2) memenuhi pangan bagi kelompok masyarakat miskin di daerah rawan pangan melalui pemberdayaan dan pemberian
bantuan langsung.
Sejak tahun 2006, Badan Ketahanan Pangan melaksanakan kedua strategi tersebut melalui Kegiatan Desa Mandiri Pangan (Demapan). Kegiatan ini bertujuan untuk meningkatkan kemampuan masyarakat desa dalam pengembangan usaha produktif berbasis sumber daya lokal, peningkatan ketersediaan pangan, peningkatan daya beli dan akses pangan rumah tangga, sehingga dapat memenuhi kecukupan gizi rumah tangga, yang akhirnya berdampak terhadap penurunan kerawanan pangan dan gizi masyarakat miskin di perdesaan, sejalan dengan salah satu tujuan Millenium Development Goals (MDGs), yaitu untuk mengurangi angka kemiskinan dan kelaparan di dunia sampai setengahnya di tahun 2015.
Sampai dengan 2011 kegiatan Demapan telah dilaksanakan di 33 provinsi, 399 kabupaten/kota pada 2.851 desa. Pada tahun 2012 dialokasikan 563 desa baru, sehingga secara komulatif, jumlah desa yang dibina menjadi 3.414 desa, di 410 kabupaten/kota, pada 33 provinsi, terdiri dari tahap: persiapan 563 desa ,penumbuhan 838 desa, pengembangan 829 desa kemandirian 359 desa, dan 825 desa mandiri.
Kegiatan Demapan dilaksanakan dalam empat tahap: persiapan, penumbuhan, pengembangan, dan kemandirian. Pelaksanaan kegiatan dilakukan dengan pendekatan pemberdayaan masyarakat miskin, penguatan kelembagaan masyarakat dan pemerintah  desa, pengembangan sistem ketahanan pangan, dan peningkatan koordinasi lintas subsektor dan sektor untuk mendukung pembangunan dan pengembangan sarana dan prasarana perdesaan.

Baca selengkapnya Pedum Demapan BKP, Kementan Tahun 2012 download disini.

Sumber : Badan Ketahanan Pangan, Kementan RI 2012.